Tidak seperti aktivitas harian biasa, Sesajen merupakan bagian penting dalam berbagai tradisi budaya lokal di Indonesia tidak dibuat setiap saat, melainkan dilakukan pada momen-momen khusus yang sarat makna yang dianggap penting dalam siklus kehidupan individu maupun komunal. Dalam budaya nusantara, waktu dan konteks pemberian sesajen tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga mencerminkan nilai spiritual dan sosial masyarakat.
Pentingnya Waktu dalam Ritual Sesajen
- Ritual Siklus Hidup: Seperti upacara pernikahan (ewoh) 11, peringatan kematian (tujuh hari, 40 hari, 100 hari, mendak, nyewu) 18, atau bahkan sebelum kelahiran. Dalam tradisi Jawa, pernikahan tidak hanya menyatukan dua insan, tetapi juga dua keluarga dan leluhur mereka. Salah satu istilah lokal yang digunakan adalah "ewoh", yang bisa merujuk pada perasaan sungkan atau "terikat norma sosial" dalam konteks hubungan antarkeluarga. Namun, di beberapa konteks lokal, ewoh juga bisa merujuk pada proses adat atau rangkaian kegiatan menjelang pernikahan yang melibatkan keluarga besar. Misalnya: Midodareni (malam sebelum akad), Siraman (pemandian calon pengantin), Ijab atau panggih (pertemuan simbolis dua mempelai), Tantingan dan srah-srahan (penyerahan simbolik dari pihak mempelai pria ke wanita). Begitu juga dengan peringatan kematian, Tradisi Jawa sangat menghormati siklus hidup hingga setelah kematian. Berikut adalah tahapan ritual selamatan yang umum dilakukan, Tujuh Hari (Pendak Pitu), Empat Puluh Hari (Pendak Patlikur), Seratus Hari (Nyatus), Setahun (Mendhak Setahun), Seribu Hari (Nyewu).
Ritual-ritual ini tidak hanya sarat makna spiritual, tetapi juga menjadi ajang silaturahmi, memperkuat solidaritas sosial, serta menghormati nilai-nilai luhur keluarga dan masyarakat. - Pembangunan atau Penempatan Baru: Misalnya saat memulai pembangunan rumah, mulai dari penggalian pondasi hingga pemasangan atap
- Ritual Komunal dan Adat: Seperti slametan untuk memohon keselamatan umum atau merayakan peristiwa tertentu, upacara Bersih Desa sebagai ungkapan syukur panen dan tolak bala, tradisi Nadran bagi masyarakat nelayan, atau upacara adat lainnya.
- Ritual Keagamaan Periodik: Contohnya adalah Megengan, sebuah tradisi syukuran menyambut datangnya bulan suci Ramadan, atau pada malam-malam tertentu yang dianggap sakral seperti malam Jumat Kliwon.
- Tempat-tempat Khusus: Sesajen seringkali diletakkan di tempat-tempat yang dianggap memiliki nilai sakral atau kekuatan gaib, seperti puncak gunung, area pemakaman (terutama makam leluhur atau tokoh penting), dekat pohon-pohon besar yang dianggap keramat, tepi sungai atau sumber mata air, atau di dalam rumah, biasanya di atas meja atau kursi khusus, disertai doa dan pembakaran kemenyan.
Konteks penggunaan ini menunjukkan bahwa sesajen menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa, dari ranah personal hingga komunal, dari siklus hidup hingga hubungan dengan alam dan kekuatan spiritual.
Konteks Sosial dan Kultural dalam Pembuatan Sesajen
Sesajen tidak hanya berkaitan dengan individu, tetapi juga memiliki fungsi sosial. Pada beberapa komunitas, sesajen menjadi bentuk komunikasi budaya antar anggota masyarakat. Misalnya:
- Upacara Bersih Desa
Diadakan untuk membersihkan desa secara spiritual dan menjaga keharmonisan antara manusia dan alam. - Ruwatan dan Tolak Bala
Dilakukan untuk menolak gangguan gaib atau menghindari nasib buruk, biasanya dalam situasi yang dianggap rawan atau penuh risiko. - Tradisi Laut dan Gunung
Komunitas pesisir atau pegunungan memiliki ritual khusus, seperti labuhan atau sesaji gunung, sebagai bentuk penghormatan pada kekuatan alam.
Tradisi sesajen bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan wujud dari kearifan lokal (local wisdom) yang hidup dan terus berkembang. Memahami waktu dan konteks penggunaannya membantu kita menghargai kedalaman nilai budaya masyarakat Indonesia. Dalam era modern, pelestarian praktik ini menjadi bagian penting dalam menjaga identitas dan harmoni spiritual.
Tidak ada komentar: