Sastra dalam budaya Jawa bukan sekadar rangkaian kata indah, melainkan jendela menuju pemahaman mendalam tentang hidup, alam semesta, dan hakikat manusia. Salah satu ungkapan penuh makna yang lahir dari warisan spiritual dan kultural masyarakat Jawa adalah Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, sebuah ungkapan yang menyimpan filosofi luhur.
Melalui artikel ini, kita diajak menelusuri makna simbolik dan spiritual dari ungkapan tersebut, serta bagaimana ia merefleksikan pandangan hidup masyarakat Jawa yang sarat kearifan lokal. Pemahaman terhadap sastra seperti ini bukan hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga membuka ruang kontemplasi akan nilai-nilai yang masih relevan dalam kehidupan modern.
Semoga tulisan ini dapat memberikan pencerahan, menggugah kesadaran budaya, dan menjadi jembatan antara masa lalu yang arif dan masa kini yang dinamis.
Definisi, Etimologi, dan Asal Istilah
Frasa Sastra Jen Rahayu Ning Rat Pangruwat Ing Diyu merupakan sebuah konsep sentral dalam khazanah spiritualitas dan filsafat Jawa. Beberapa sumber mengidentifikasikannya sebagai akar etimologis dari istilah "Sesajen", meskipun hubungan ini tidak selalu diakui secara universal. Frasa ini seringkali muncul dalam varian penulisan yang sedikit berbeda namun merujuk pada konsep yang sama, seperti Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, yang merupakan bentuk yang lebih umum dikenal.
Konsep ini dipahami sebagai sebuah ajaran atau ilmu (sastra) kuno Jawa yang luhur dan mendalam. Ia sering digambarkan sebagai wejangan suci atau bahkan mantra sakti yang bertujuan untuk mencapai keselamatan dan memurnikan diri dari unsur-unsur negatif. Beberapa sebutan lain yang merujuk pada esensi ajaran ini antara lain Sastra Ceta (ajaran yang jelas/terang), Sastra Harjendra (ajaran raja/utama), Sastradi (ajaran yang adiluhung/luhur), atau deskripsi filosofis seperti Ngelmu wadining bumi kang sinengker Hyang Jagad Pratingkah (Ilmu rahasia alam semesta yang tersembunyi/berasal dari Tuhan).
Mengenai asal-usulnya, Sastra Jen Rahayu Ning Rat Pangruwat Ing Diyu diyakini memiliki akar yang sangat tua dalam tradisi Jawa, bahkan mungkin mendahului pengaruh Hindu-Buddha. Jejaknya dapat ditelusuri dalam tradisi sastra Jawa Kuno, khususnya dalam teks Uttarakanda Jawa Kuno (gubahan dari teks Sansekerta pada akhir abad ke-10 M) yang memuat kisah kelahiran Rahwana (Rahvanotpatti). Kisah ini kemudian digubah kembali oleh Mpu Tantular pada era Majapahit (1379 M) menjadi Kakawin Arjunavijaya. Namun, popularitas dan penyebaran ajaran ini dalam bentuknya yang dikenal sekarang banyak terkait dengan kisah pewayangan, terutama lakon pertemuan antara Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi (sering disebut lakon Alap-alap Sukesi). Meskipun ajarannya dianggap kuno, penyebutan istilah "Sastra Jendra" secara spesifik kemungkinan baru muncul pada abad ke-19, misalnya dalam Serat Wedhatama karya Yasadipura I dari Kasunanan Surakarta. Sebelum itu, ajaran dengan esensi serupa mungkin dikenal dengan nama lain, seperti Sanghyang Tattwajnana Nirmala Nawaruci. Ajaran ini terus berkembang dan dihayati dalam berbagai aliran kebatinan atau Kejawen, mulai dari masa kerajaan Hindu-Buddha hingga mencapai puncaknya pada masa keemasan Mataram Islam.
Makna Kata per Kata
Untuk memahami kedalaman makna frasa ini, penting untuk mengurai arti dari setiap komponen katanya:
- Sastra: Secara umum berarti tulisan, ajaran, ilmu, atau kitab. Dalam konteks ini, merujuk pada sebuah ajaran luhur atau ilmu pengetahuan spiritual.
- Jen / Jendra / Hendra: Kata ini memiliki beberapa interpretasi. Bisa berarti "raja" atau "milik raja", yang seringkali diidentikkan dengan Tuhan sebagai Raja alam semesta. Bisa juga diartikan sebagai "hati" atau pusat kesadaran. Ada pula yang mengartikannya sebagai "utama" atau bahkan "menyatu".
- Rahayu / Hayu: Bermakna selamat, sejahtera, damai, tenteram, baik, atau indah. Merujuk pada kondisi ideal yang dicita-citakan.
- Ning / Ing: Merupakan kata depan dalam Bahasa Jawa yang berarti "di" atau "dalam".
- Rat: Umumnya diartikan sebagai "dunia", "jagat raya", atau "alam semesta". Namun, terdapat interpretasi lain yang mengartikannya sebagai "darah" atau "getih", yang mungkin merujuk pada esensi kehidupan atau diri manusia.
- Pangruwat / Pangruwating: Berasal dari kata dasar ruwat. Memiliki makna membersihkan, membebaskan, menyelamatkan, memurnikan, atau memunahkan hal-hal negatif. Bisa juga diartikan sebagai merawat, meluluhkan, mengubah, atau memperbaiki sesuatu menjadi lebih baik.
- Ing: Kata depan yang berarti "di" atau "dalam".
- Diyu: Merujuk pada entitas atau sifat negatif. Sering diterjemahkan sebagai raksasa (simbol kejahatan atau angkara murka), keburukan, sifat-sifat negatif, angkara, durjana, atau hal-hal yang menyebabkan kebingungan dan keraguan.
Pemahaman Makna Keseluruhan
- Sebagai "Tulisan (ajaran) suci dari Yang Maha Kuasa (Raja/Tuhan) yang harus dimengerti dan dipahami agar dapat menjadi penerang, membawa keselamatan dan kesejahteraan abadi bagi kehidupan di jagat raya (dunia), serta mampu memusnahkan (meruwat) segala bentuk kebingungan, keraguan, atau sifat-sifat negatif (diyu)".
- Sebagai "Ilmu pengetahuan (ajaran luhur) mengenai alam semesta (rat) yang harus dipahami agar manusia dapat memperoleh kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan sejati, serta terhindar dari keraguan dan kebingungan (diyu)".
- Secara lebih filosofis, sebagai "Ajaran rahasia/luhur (Sastra) milik Sang Raja/Tuhan (Jendra) yang bertujuan untuk mencapai keselamatan dan kedamaian sejati di dunia (Hayuningrat) melalui proses pembersihan, perbaikan, atau transformasi (Pangruwating) sifat-sifat angkara murka, keburukan, atau aspek negatif (Diyu) dalam diri manusia dan alam semesta" (Sintesis dari).
Tidak ada komentar: