Nusantara, dengan kekayaan budayanya yang membentang, menjadi saksi bisu perjumpaan berbagai peradaban dan keyakinan. Salah satu pertemuan paling signifikan adalah masuknya Islam, yang tidak datang dalam ruang hampa, melainkan berdialog dan berkelindan dengan tradisi serta kearifan lokal yang telah mengakar. Dalam proses ini, sufisme atau tasawuf, yang kemudian terlembagakan dalam bentuk tarekat, memainkan peran kunci. Tarekat, yang secara harfiah berarti 'jalan' atau metode spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah , menjadi wajah Islam yang pertama kali diterima secara luas oleh masyarakat Nusantara.
Artikel ini akan menelusuri bagaimana jalinan antara sufisme (tarekat) dan kearifan lokal (budaya Nusantara) terjadi serta pengaruhnya yang mendalam terhadap lanskap budaya Indonesia.
Kedatangan Sufisme: Resonansi dengan Spiritualitas Lokal
Sejarah mencatat bahwa proses Islamisasi di Nusantara, terutama yang berlangsung masif sejak akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15, bertepatan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf di dunia Islam. Banyak ahli sepakat bahwa corak Islam yang paling menarik bagi masyarakat Nusantara saat itu adalah Islam yang kental dengan nuansa sufistik. Hal ini tidak mengherankan, mengingat masyarakat Nusantara sebelumnya telah memiliki tradisi keagamaan Hindu-Buddha serta kepercayaan lokal yang kaya akan unsur metafisika dan spiritualitas. Ajaran tasawuf, dengan penekanannya pada dimensi batin, pengalaman spiritual personal, dan kedekatan dengan Tuhan, menemukan resonansi yang kuat dengan jiwa spiritualitas masyarakat setempat. Pendekatan sufistik yang cenderung akomodatif dan damai, berbeda dengan penaklukan militer di wilayah lain, memfasilitasi penerimaan Islam secara lebih mulus.
Akulturasi Budaya: Peran Para Sufi dan Wali
Para penyebar Islam awal di Nusantara, yang banyak di antaranya adalah para sufi atau wali, memahami betul pentingnya berdialog dengan budaya setempat. Mereka tidak datang untuk menghapus tradisi yang ada, melainkan mengintegrasikan ajaran Islam ke dalamnya melalui proses akulturasi yang bijaksana. Wali Songo di Jawa adalah contoh paling gamblang dari strategi ini. Mereka menggunakan media seni dan budaya lokal seperti tembang, gamelan, wayang, hingga permainan anak-anak (dolanan bocah) sebagai sarana dakwah. Sunan Bonang, misalnya, setelah pendekatan fikihnya kurang berhasil, beralih menggunakan pendekatan sufistik dan budaya yang terbukti lebih efektif. Demikian pula Sunan Gunung Jati yang dikaitkan dengan Tarekat Syadziliyah dan Kubrawiyyah, serta Sunan Ampel dengan Naqsabandiyah, menunjukkan lekatnya para wali dengan dunia tarekat dan pemanfaatannya dalam dakwah kultural. Kemampuan tarekat untuk menyerap dan 'mengislamkan' unsur-unsur budaya lokal inilah yang menjadi salah satu kunci keberhasilan penyebaran Islam di Nusantara.
Buah Jalinan: Lahirnya Tradisi Islam Nusantara
Interaksi intens antara ajaran tarekat dan kearifan lokal Nusantara melahirkan berbagai bentuk tradisi keagamaan yang unik dan khas Indonesia. Praktik-praktik tarekat, yang awalnya mungkin berasal dari Timur Tengah atau India, diadaptasi dan dimodifikasi sehingga menyatu dengan ekspresi budaya lokal. Kita bisa melihatnya dalam berbagai tradisi yang hidup hingga kini:
- Manaqiban: Pembacaan riwayat hidup para wali atau syekh pendiri tarekat, terutama Syekh Abdul Qadir al-Jailani, yang menjadi ritual penting dalam Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah (TQN).
- Haul: Peringatan wafatnya para mursyid atau ulama besar yang diisi dengan dzikir, doa, dan pengajian, menjadi ajang silaturahmi dan penguatan ikatan komunitas tarekat.
- Ziarah Kubur: Mengunjungi makam para wali dan mursyid untuk berdoa dan mencari berkah (tabarruk), sebuah praktik yang sangat lazim di kalangan pengikut tarekat.
- Rateb/Ratib: Tradisi pembacaan dzikir berjamaah dengan irama dan gerakan khas, seperti Ratib Samman dalam Tarekat Sammaniyah, yang terkadang di Madura atau Banten disertai atraksi kekebalan tubuh mirip debus.
- Suluk/Khalwat: Praktik menyepi atau retret spiritual untuk intensifikasi ibadah yang masih dijalankan oleh beberapa tarekat seperti Naqsyabandiyah dan Syadziliyah.
Tradisi-tradisi ini menunjukkan bagaimana tarekat tidak hanya membawa ajaran spiritual, tetapi juga berkontribusi aktif dalam membentuk dan melestarikan ekspresi budaya Islam yang khas Nusantara.
Sastra dan Seni: Ekspresi Sufisme yang Menyentuh
Jalinan antara sufisme dan budaya lokal tidak hanya terbatas pada ritual. Pengalaman spiritual dan ajaran tarekat juga menginspirasi lahirnya karya seni dan sastra Islam di Nusantara. Karya-karya syair sufistik Hamzah Fansuri, seorang penganut Tarekat Qadiriyyah , adalah contoh bagaimana kedalaman spiritualitas dapat diekspresikan melalui medium sastra yang indah, memperkaya khazanah budaya Melayu-Indonesia.
Kesimpulan: Warisan Spiritual yang Tetap Relevan
Tarekat, sebagai manifestasi praktis ajaran sufisme, telah memainkan peran sentral dalam sejarah kebudayaan Islam di Indonesia. Melalui pendekatannya yang akomodatif dan kemampuannya berdialog dengan kearifan lokal, tarekat berhasil menjalin hubungan harmonis dengan budaya Nusantara yang sudah ada sebelumnya. Jalinan ini tidak hanya memfasilitasi penyebaran Islam secara damai, tetapi juga melahirkan tradisi-tradisi keagamaan yang unik dan memperkaya lanskap budaya Indonesia. Memahami pengaruh tarekat berarti memahami salah satu akar penting pembentukan karakter Islam Nusantara yang moderat, toleran, dan kaya akan ekspresi spiritualitas.
Tidak ada komentar: